Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad AbdulMu’thi, Lc.
Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa
banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak
pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji
untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula
orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur
pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal
ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.
Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan
orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan
manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan
menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan
akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang
baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan
akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan
adalah menepati janji.
Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan
memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا …
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….”
(An-Nahl: 91)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya
yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan
janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri
seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan
sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian,
gencatan senjata, dan semisalnya.
Para Rasul Menepati Janji
Seperti yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan akhlak
terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan
panutan umat dan penyampai risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada
manusia, menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah
Ibrahim ‘alaihissalam, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menyifatinya sebagai orang yang menepati
janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِبْرَاهِيْمَ الَّذِي وَفَّى
“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (An-Najm: 37)
Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah melaksanakan seluruh
apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ujikan dan perintahkan kepadanya
dari syariat, pokok-pokok agama, serta cabang-cabangnya.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Ismail ‘alaihissalam:
إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ
“Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (Maryam: 54)
Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini
mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun
kepada manusia. Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk
sabar disembelih oleh bapaknya –karena perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala– ia pun menepatinya dengan menyerahkan dirinya kepada perintah
Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496)
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memperoleh
bagian yang besar dalam permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijuluki sebagai seorang yang
jujur lagi terpercaya. Maka tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam diangkat menjadi rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali
semakin sempurna pada dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun
mengaguminya, terlebih mereka yang mengikuti dan beriman kepadanya.
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun keenam Hijriah
berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta
para shahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy.
Ketika sampai di Al-Hudaibiyah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kaum muslimin dihadang oleh kaum musyrikin. Terjadilah di sana
perundingan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum
musyrikin. Disepakatilah butir-butir perjanjian yang di antaranya adalah
gencatan senjata selama sepuluh tahun, tidak boleh saling menyerang,
bahwa kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan –di
mana ini dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus
membatalkan umrahnya–, dan kalau ada orang Makkah masuk Islam lantas
pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke
Makkah.
Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak
Suhail –juru runding orang Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama
shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suhail pun
mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika anaknya
tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menandatangani
perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan
muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun di balik peristiwa itu
justru kebaikan bagi kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada
nafas untuk menyusun kembali kekuatan. Namun belumlah lama perjanjian
itu berjalan, orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya. Akibat
pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin
pada peristiwa pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka
bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian,
jatuhlah markas komando musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun
masuk Islam dengan berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah
menepati janji: datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. (Zadul Ma’ad, 3/262)
Para Salaf dalam Menepati Janji
Dahulu ada seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama
Anas bin An-Nadhr radhiyallahu ‘anhu. Dia amat menyesal karena tidak
ikut perang Badr bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia
berjanji jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan kepadanya medan
pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melihat pengorbanan yang dilakukannya.
Ketika berkobar perang Uhud, dia berangkat bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam perang ini kaum muslimin terpukul
mundur dan sebagian lari dari medan pertempuran. Di sinilah terbukti
janji Anas. Dia terus maju menerobos barisan musuh sehingga terbunuh.
Ketika perang telah usai dan kaum muslimin mencari para syuhada Uhud,
didapati pada tubuh Anas bin An-Nadhr ada 80 lebih tusukan pedang,
tombak, dan panah, sehingga tidak ada yang bisa mengenalinya kecuali
saudarinya. Lalu turunlah ayat Al-Qur`an:
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ
فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا
بَدَّلُوا تَبْدِيْلاً
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa
yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
sedikitpun tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23) [Lihat Tafsir Ibnu
Katsir, Surat Al-Ahzab, 3/484 dan Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3200]
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: “Dahulu kami –berjumlah– tujuh atau delapan atau sembilan orang
di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:
“Tidakkah kalian berbai’at kepada Rasulullah?” Maka kami bentangkan
tangan kami. Lantas ada yang berkata: “Kami telah berbaiat kepadamu
wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu atas apa kami
membaiat anda?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُوا
الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَتَسْمَعُوا وَتُطِيْعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً
خَفِيَّةً – وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا
“Kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun,
kalian menegakkan shalat lima waktu, mendengar dan taat (kepada
penguasa) –dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat
yang samar– (lalu berkata), dan kalian tidak meminta sesuatu pun kepada
manusia.”
‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Sungguh aku melihat cambuk sebagian orang-orang itu jatuh namun mereka
tidak meminta kepada seorang pun untuk mengambilkannya.” (Shahih Sunan
Ibnu Majah no. 2334)
Seperti itulah besarnya permasalahan menepati janji di mata generasi
terbaik umat ini. Karena mereka yakin bahwa janji itu akan dimintai
pertanggungjawabannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tiada
kalimat yang terucap kecuali di sisinya ada malaikat pencatat. Intinya,
keimanan yang benar itulah yang akan mewariskan segala tingkah laku dan
perangai terpuji.
Hal ini sangat berbeda dengan orang yang hanya bisa memberi
janji-janji manis yang tidak pernah ada kenyataannya. Tidakkah mereka
takut kepada adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala karena ingkar janji?
Tidakkah mereka tahu bahwa ingkar janji adalah akhlak Iblis dan para
munafikin? Ya. Seruan ini mungkin bisa didengar, tetapi bagaimana bisa
mendengar orang yang telah mati hatinya dan dikuasai oleh setannya.
Iblis Menebar Janji Manis
Semenjak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihissalam dan
memuliakannya di hadapan para malaikat, muncullah kedengkian dan
menyalalah api permusuhan pada diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengutuknya dan mengusirnya dari surga. Iblis
berikrar akan menyesatkan manusia dengan mendatangi mereka dari berbagai
arah sehingga dia mendapat teman yang banyak di neraka nanti. Berbagai
cara licik dilakukan oleh Iblis. Di antaranya dengan membisikkan pada
hati manusia janji-janji palsu dan angan-angan yang hampa.
Pada waktu perang Badr, Iblis datang bersama para setan pasukannya
dengan membawa bendera. Ia menjelma seperti seorang lelaki dari Bani
Mudlaj dalam bentuk seseorang yang bernama Suraqah bin Malik bin
Ju’syum. Ia berkata kepada kaum musyrikin: “Tidak ada seorang manusia
pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini. Dan aku ini sesungguhnya
pelindung kalian.” Tatkala dua pasukan siap bertempur, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam debu lalu
menaburkannya pada wajah pasukan musyrikin sehingga mereka lari ke
belakang. Kemudian malaikat Jibril mendatangi Iblis. Ketika Iblis
melihat Jibril dan waktu itu tangannya ada pada genggaman seorang
lelaki, ia berusaha melepaskannya kemudian lari terbirit-birit beserta
pasukannya. Lelaki tadi berkata: “Wahai Suraqah, bukankah kamu telah
menyatakan pembelaan terhadap kami?” Iblis berkata: “Aku melihat apa
yang tidak kamu lihat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/330 dan Ar-Rahiq
Al-Makhtum hal. 304)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ
لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَكُمْ فَلَمَّا تَرَاءَتِ
الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيْءٌ مِنْكُمْ
إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ وَاللهُ شَدِيْدُ
الْعِقَابِ
“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan:
‘Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari
ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka tatkala kedua
pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu berbalik
ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian;
sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak melihatnya; sesungguhnya
aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal:
48)
Tanda-tanda Kemunafikan
Menepati janji adalah bagian dari iman. Barangsiapa yang tidak menjaga
perjanjiannya maka tidak ada agama baginya. Maka seperti itu pula ingkar
janji, termasuk tanda kemunafikan dan bukti atas adanya makar yang
jelek serta rusaknya hati.
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila
berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim,
Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara,
jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya
untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya
menepati janji adalah barometer yang dengannya diketahui orang yang baik
dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat
Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)
Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun Terhadap Orang Kafir
Orang yang membaca sirah (sejarah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan generasi Salafush Shalih akan mendapati bahwa menepati janji dan
ikatan perjanjian tidak terbatas hanya sesama kaum muslimin. Bahkan
terhadap lawan pun demikian. Sekian banyak perjanjian yang telah diikat
antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang kafir dari
Ahlul Kitab dan musyrikin, tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
jaga, sampai mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِلاَّ الَّذِيْنَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ثُمَّ لَمْ
يَنْقُصُوْكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا
إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الْمُتَّقِيْنَ
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian
(dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi
perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi
kamu, maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas waktunya.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 4)
Dahulu antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma ada
ikatan perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu waktu
Mu’awiyah bermaksud menyerang mereka di mana dia tergesa-gesa satu bulan
(sebelum habis masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki
mengendarai kudanya dari negeri Romawi seraya mengatakan: “Tepatilah
janji dan jangan berkhianat!” Ternyata dia adalah seorang shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Amr bin ‘Absah. Mu’awiyah
lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa
antara ia dengan suatu kaum ada perjanjian maka tidak halal baginya
untuk melepas ikatannya sampai berlalu masanya atau mengembalikan
perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” Akhirnya Mu’awiyah
menarik diri beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman no. 4049-4050 dan
Ash-Shahihah 5/472 hadits no. 2357)
Kalau hal itu bisa dilakukan terhadap kaum musyrikin, tentu
lebih-lebih lagi terhadap kaum muslimin, kecuali perjanjian yang
maksiat, maka tidak boleh dilaksanakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Dan kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian
mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau
menghalalkan yang haram.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat
Irwa`ul Ghalil no. 1303)
Menunaikan Nadzar dan Membayar Hutang
Di antara bentuk menunaikan janji adalah membayar hutang apabila jatuh
temponya dan tiba waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia dalam keadaan ingin
menunaikannya niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya. Dan
barangsiapa mengambilnya dalam keadaan ingin merusaknya, niscaya Allah
akan melenyapkannya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lihat Faidhul Qadir, 6/54)
Adapun menunaikan nadzar, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (Al-Insan: 7)
Janji yang Paling Berhak Untuk Dipenuhi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
“Syarat/janji yang paling berhak untuk ditepati adalah syarat yang
kalian halalkan dengannya kemaluan.” (HR. Al-Bukhari no. 2721)
Yakni syarat/janji yang paling berhak untuk dipenuhi adalah yang
berkaitan dengan akad nikah seperti mahar dan sesuatu yang tidak
melanggar aturan agama. Jika persyaratan tadi bertentangan dengan
syariat maka tidak boleh dilakukan, seperti seorang wanita yang mau
dinikahi dengan syarat ia (laki-lakinya) menceraikan isterinya terlebih
dahulu. (Lihat Fathul Bari, 9/218)
Larangan Ingkar Janji terhadap Anak Kecil
Sikap mengingkari janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama Islam,
meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau
tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka
perangai yang tercela.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu telah meriwayatkan hadits dari
shahabat Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: “Pada
suatu hari ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di
tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan:
‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengatakan kepada ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan
kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis
bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498,
lihat Ash-Shahihah no. 748)
Di dalam hadits ini ada faedah bahwa apa yang biasa diucapkan oleh
manusia untuk anak-anak kecil ketika menangis seperti kalimat janji yang
tidak ditepati atau menakut-nakuti dengan sesuatu yang tidak ada adalah
diharamkan. (‘Aunul Ma’bud, 13/ 229)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلاَ هَزْلٍ، وَلاَ أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لاَ يُنْجِزُ لَهُ
“Kedustaan tidak dibolehkan baik serius atau main-main, dan tidak
boleh salah seorang kalian menjanjikan anaknya dengan sesuatu lalu tidak
menepatinya.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300)
Larangan Menunaikan Janji Yang Maksiat
Menunaikan janji ada pada perkara yang baik dan maslahat, serta sesuatu
yang sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang
memberikan janji dengan suatu kemaksiatan atau kemudaratan, atau
mengikat perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan,
maka menepati janji pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang
yang beriman, dan wajib untuk tidak menunaikannya. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak boleh menepati nadzar dalam maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad
dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahihul Jami’ no. 7574)
Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji
Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan surga
bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah
Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di
atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini
diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di
antaranya adalah menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Jagalah enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga;
jujurlah bila berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah apabila
kalian diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan
tahanlah tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad,
Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat
Ash-Shahihah no. 1470)
Ingkar Janji Mendatangkan Kutukan dan Menjerumuskan ke dalam Siksa
Siapapun orangnya yang masih sehat fitrahnya tidak akan suka kepada
orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah
masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka.
Namun anehnya ternyata masih banyak orang yang jika berjanji hanya
sekedar igauan belaka. Dia tidak peduli dengan kehinaan yang
disandangnya, karena orang yang punya mental suka dengan kerendahan
tidak akan risih dengan kotoran yang menyelimuti dirinya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَهُمْ لاَ
يُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُوْنَ
عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لاَ يَتَّقُوْنَ
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah
ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu)
orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah
itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak
takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 55-56)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bagi setiap pengkhianat (akan ditancapkan) bendera pada pantatnya di
hari kiamat.” (HR. Muslim bab Tahrimul Ghadr no. 1738 dari Abu Sa’id
Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Khatimah
Demikianlah indahnya wajah Islam yang menjunjung tinggi etika dan adab
pergaulan. Ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikan oleh dunia saat
ini berupa kecongkakan Yahudi, Nasrani, dan musyrikin serta
pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin.
Saat menapaki sejarah, kita bisa menyaksikan, para pengkhianat
perjanjian akan berakhir dengan kemalangan. Tentunya tidak lupa dari
ingatan kita tentang nasib tiga kelompok Yahudi Madinah, yaitu Bani
Quraizhah, Bani An-Nadhir, dan Bani Qainuqa’ yang berkhianat setelah
mengikat tali perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang berujung dengan kehinaan. Di antara mereka ada yang dibunuh,
diusir, dan ditawan.
Mungkin watak tercela itu sangat melekat pada diri mereka karena
tidak adanya keimanan yang benar. Tetapi bagi orang-orang yang
mendambakan kebahagiaan hakiki dan ditolong atas musuh-musuhnya, mereka
menjadikan etika yang mulia sebagai salah satu modal dari sekian modal
demi tegaknya kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan terwujudnya harapan.
Yakinlah, Islam akan senantiasa tinggi, dan tiada yang lebih tinggi
darinya. Wallahu a’lam.
Sumber : http://www.asysyariah.com
assalamualaikum wr.wb,saya ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada KI Roro atas bantuan AKI. kini impian saya selama ini sudah jadi kenyataan dan berkat bantuan AKI roro pula yang telah memberikan angka ritual kepada saya yaitu 4 angka dan alhamdulillah langsung tembus. sekali lagi makasih ya AKI karna waktu itu saya cuma bermodalkan uang 200 ribu dan akhirnya saya menang. Berkat angka GAIB hasil ritual AKI RORO saya sudah bisa buka usaha yaitu butic pakaian impor dan toko sembako di depan rumahku. kini kehidupan keluarga saya jauh lebih baik dari sebelumnya,bagi anda yg ingin seperti saya silahkan HUBUNGI AKI RORO di nomor hpnya: 082336642456 dan ramalan AKI memang memiliki ramalan GAIB” yang dijamin tembus.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل