Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc
Hasad, bisa jadi adalah penyakit jiwa yang paling sering menjangkiti
atau setidaknya pernah mendera kita tanpa disadari. Penyakit ini
sesungguhnya adalah penyakit “tertua” yang menjadikan iblis membangkang
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang memilukan, penyakit ini kemudian
banyak diwarisi kaum muslimin hingga sekarang.
Maha Suci Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah membagi-bagi perangai
para hamba-Nya sebagaimana Ia telah membagi-bagi rizki di antara mereka.
Di antara manusia ada yang dianugerahi perangai yang baik, jiwa yang
bersih dan cinta terhadap saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya
berupa kebaikan. Ada pula jenis manusia yang jelek perangainya, kotor
jiwanya serta tidak suka terhadap kebaikan yang diperoleh saudaranya.
Pengertian Hasad
Ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan hasad. Namun inti ungkapan
mereka, hasad adalah sikap benci dan tidak senang terhadap apa yang
dilihatnya berupa baiknya keadaan orang yang tidak disukainya. (Majmu’
Fatawa, Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, 10/111)
An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari yang memperolehnya,
baik itu nikmat dalam agama ataupun dalam perkara dunia.” (Riyadhush
Shalihin, Bab Tahrimil Hasad, no. 270)
Sebab-sebab Terjadinya Hasad
Pada dasarnya, jiwa manusia memiliki tabiat menyukai kedudukan yang
terpandang, dan tidak ingin ada yang menyaingi atau lebih tinggi
darinya. Jika ada yang lebih tinggi darinya, ia pun sempit dada dan
tidak menyukainya, serta ingin agar nikmat itu hilang dari saudaranya.
Dari sini jelaslah bahwa hasad merupakan penyakit kejiwaan. Hasad
merupakan penyakit kebanyakan orang. Tidak terbebas darinya kecuali
segelintir manusia. Oleh karena itu dahulu dikatakan: “Tiada jasad yang
bebas dari sifat hasad. Akan tetapi orang yang jelek akan menampakkan
hasadnya, sedangkan orang yang baik akan menyembunyikannya.”
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu pernah ditanya:
“Apakah seorang mukmin itu (memiliki sifat) hasad?” Beliau rahimahullahu
menjawab: “Begitu cepatnya engkau lupa (tentang kisah hasad)
saudara-saudara Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Namun sembunyikanlah hasad itu
di dalam dadamu. Hal itu tidak akan membahayakanmu selagi tidak
ditampakkan dengan tangan dan lisan.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu, 10/125)
Sebab-sebab terjadinya hasad banyak sekali. Di antaranya permusuhan,
takabur (sombong), bangga diri, ambisi kepemimpinan, jeleknya jiwa serta
kebakhilannya.
Hasad yang paling dahsyat adalah yang ditimbulkan oleh permusuhan dan
kebencian. Karena orang yang disakiti orang lain dengan sebab apapun,
akan menumbuhkan kebencian dalam hatinya, serta tertanamnya api
kedengkian dalam dirinya. Kedengkian itu menuntut adanya pembalasan,
sehingga ketika musuhnya tertimpa bala` ia pun senang dan menyangka
bahwa itu adalah pembalasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.
Sebaliknya, jika yang dimusuhinya memperoleh nikmat, ia tidak senang.
Maka, hasad senantiasa diiringi dengan kebencian dan permusuhan.
Adapun hasad yang ditimbulkan oleh kesombongan, seperti bila orang
yang setingkat dengannya memperoleh harta atau kedudukan maka ia
khawatir orang tadi akan lebih tinggi darinya. Ini mirip hasad
orang-orang kafir terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana yang dikisahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مَا أَنْتُمْ إِلاَّ بَشَرٌ مِثْلُنَا
“Kalian tidak lain kecuali manusia seperti kami.” (Yasin: 15)
Yakni mereka heran dan benci bila ada orang yang seperti mereka memperoleh derajat kerasulan, sehingga mereka pun membencinya.
Demikian pula hasad yang ditimbulkan oleh ambisi kepemimpinan dan
kedudukan. Misalnya ada orang yang tak ingin tertandingi dalam bidang
tertentu. Ia ingin dikatakan sebagai satu-satunya orang yang mumpuni di
bidang tersebut. Jika mendengar di pojok dunia ada yang menyamainya, ia
tidak senang. Ia justru mengharapkan kematian orang itu serta hilangnya
nikmat itu darinya. Begitu pula halnya dengan orang yang terkenal karena
ahli ibadah, keberanian, kekayaan, atau yang lainnya, tidak ingin
tersaingi oleh orang lain. Hal itu karena semata-mata ingin menyendiri
dalam kepemimpinan dan kedudukan. Dahulu, ulama Yahudi mengingkari apa
yang mereka ketahui tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
serta tidak mau beriman kepadanya, karena khawatir tergesernya kedudukan
mereka.
Adapun hasad yang ditimbulkan oleh jeleknya jiwa serta bakhilnya hati
terhadap hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, bisa jadi orang semacam ini
tidak punya ambisi kepemimpinan ataupun takabur (kesombongan). Namun
jika disebutkan di sisinya tentang orang yang diberi nikmat oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala, sempitlah hatinya. Jika disebutkan keadaan manusia
yang goncang serta susah hidupnya, ia bersenang hati. Orang yang seperti
ini selalu menginginkan kemunduran orang lain, bakhil dengan nikmat
Allah Subhanahu wa Ta’ala atas para hamba-Nya. Seolah-olah manusia
mengambil nikmat itu dari kekuasaan dan perbendaharaannya.
Demikianlah, kebanyakan hasad yang terjadi di tengah-tengah manusia
disebabkan faktor-faktor tadi. Dan seringnya terjadi antara orang-orang
yang hidup sejaman, selevel, atau antar saudara. Oleh karena itu, anda
dapati ada orang alim yang hasad terhadap alim lainnya, dan tidak hasad
terhadap ahli ibadah. Pedagang hasad terhadap pedagang yang lain. Sumber
semua itu adalah ambisi duniawi, karena dunia ini terasa sempit bagi
orang yang bersaing. (Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 240-243)
Buah dari Sifat Hasad
Setiap orang yang lurus dan bijak akan mencela hasad dan berlindung diri
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala darinya. Lihatlah bagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menjauhkan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dari sikap jelek ini, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
mencela ahlul kitab yang hasad terhadap manusia dalam hal keutamaan yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka. Allah Subhanahu wa
Ta’ala juga mencerca kaum munafik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan
tentang mereka:
إِنْ تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكَ مُصِيْبَةٌ
يَقُوْلُوا قَدْ أَخَذْنَا أَمْرَنَا مِنْ قَبْلُ وَيَتَوَلَّوْا وَهُمْ
فَرِحُوْنَ
“Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang
karenanya. Dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana, mereka berkata:
‘Sesungguhnya kami sebelumnya telah memerhatikan urusan-urusan kami
(tidak pergi berperang),’ dan mereka berpaling dengan rasa gembira.”
(At-Taubah: 50)
Tidaklah setan dimurkai dan dikutuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
melainkan karena hasad dan sikap sombongnya terhadap Adam ‘alaihissalam.
Hasad adalah awal kemaksiatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dimaksiati
dengannya di langit –oleh Iblis– dan di bumi –oleh salah seorang anak
Adam, ketika kurbannya tidak diterima. Ia lalu membunuh saudaranya yang
diterima kurbannya.
Orang yang hasad selalu dirundung kegalauan melihat nikmat yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang lain, seolah-olah adzab yang
menimpa dirinya. Rabbnya murka kepadanya, manusia pun menjauh darinya.
Tidaklah anda melihatnya kecuali selalu bersedih hati menentang
keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takdir-Nya. Seandainya ia mampu
melakukan kebaikan niscaya ia tidak akan banyak beramal dan berpikir
untuk menyusul orang yang dihasadi. Dan seandainya mampu melakukan
kejelekan, pasti ia akan merampas nikmat saudaranya lalu menjadikan
saudaranya itu fakir setelah tadinya kaya, bodoh setelah tadinya pintar,
dan hina setelah tadinya mulia. (Lihat Ishlahul Mujtama’, hal. 103-104)
Hasad, Sifat Yahudi yang Menonjol
Orang yang banyak memerhatikan sejarah dan mencermati kondisi umat-umat
yang ada, akhlak dan muamalah mereka, benar-benar akan ia dapati bahwa
umat yang paling jelek akhlaknya dan paling jahat pergaulannya adalah
bangsa Yahudi. Mereka adalah umat yang dikutuk, umat (yang suka)
berdusta, melampaui batas, berbuat kefasikan, kemaksiatan, kekufuran dan
penyimpangan. Suatu umat yang dibenci oleh manusia karena kerasnya hati
mereka, dan dahsyatnya kedengkian serta hasad mereka. (Lihat Al-Fawa`id
Al-Mantsurah, hal. 172, karya Asy-Syaikh Dr. Abdurrazzaq Al-Badr)
Asy-Syaikh Muhammad bin Salim Al-Baihani rahimahullahu berkata:
“Tidaklah Al-Qur`an menyifati seseorang dengan sifat hasad, dari dahulu
hingga sekarang, lebih dari bangsa Yahudi. Merekalah yang menyatakan
tentang Thalut:
أَنَّى يَكُوْنُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ
“Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripada dia, sedangkan dia pun tidak diberi
kekayaan yang banyak?” (Al-Baqarah: 247)
Mereka menyatakan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menurunkan sesuatu pun kepada
manusia.
Mereka juga mengetahui kebenaran, namun kemudian mengingkarinya.
Mereka berusaha menghalangi manusia dari kebenaran karena keangkuhan
mereka di muka bumi dan karena mereka lebih menyukai kebutaan daripada
petunjuk, serta membenci apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan
kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengandaskan harapan mereka dan meruntuhkan usaha mereka. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَدَّ كَثِيْرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِنْ
بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki
yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran.” (Al-Baqarah: 109) [Lihat Ishlahul Mujtama’, hal. 103-104)
Antara Hasad dan Ghibthah
Dari uraian yang telah disebutkan, jelaslah bahwa hasad adalah suatu
sifat yang tercela karena pelakunya mengharapkan hilangnya nikmat yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang lain, serta kebenciannya
memperoleh nikmat tersebut. Adapun ghibthah adalah seseorang
menginginkan untuk mendapatkan sesuatu yang diperoleh orang lain, tanpa
menginginkan hilangnya nikmat tersebut dari orang itu. Yang seperti ini
tidak mengapa dan tidak dicela pelakunya. Jika irinya dalam hal ketaatan
maka pelakunya terpuji. Bahkan ini merupakan bentuk berlomba-lomba
dalam kebaikan. Jika irinya dalam perkara maksiat maka ini tercela,
sedangkan bila dalam perkara-perkara yang mubah maka hukumnya juga
mubah. (Lihat At-Tafsirul Qayyim, 1/167 dan Fathul Bari, 1/167)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ، رَجُلٍ آَتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ
فَهُوَ يَقُوْمُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ
آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآناَءَ
النَّهَارِ
“Tidak ada hasad atau iri –yang disukai– kecuali pada dua perkara;
(yaitu) seorang yang diberikan pemahaman Al-Qur`an lalu mengamalkannya
di waktu-waktu malam dan siang; dan seorang yang Allah beri harta lalu
menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (HR. Muslim, Kitab
Shalatil Musafirin wa Qashriha, no. 815, dari sahabat Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata:
“Jika ada yang mengatakan, mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menamakannya dengan hasad, padahal orang tadi hanyalah menginginkan
untuk diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Maka dijawab bahwa sumber keinginan ini adalah karena ia melihat
orang lain diberi nikmat, serta ketidaksukaannya ada orang lain yang
lebih unggul darinya. Jika tidak ada orang lain (yang memperoleh nikmat
itu) niscaya dia juga tidak menginginkannya. Karena sumbernya adalah
ketidaksukaannya untuk disaingi oleh orang lain (dalam kebaikan) maka
dinamakanlah hasad.
Jiwa manusia tidaklah hasad kepada orang yang beramal pada sesuatu
yang besar keletihannya, seperti jihad. Oleh karena itu, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkannya meskipun jihad fi
sabilillah lebih utama dari orang yang menginfakkan hartanya.
Demikian pula, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan
(dalam hadits ini) orang yang shalat, puasa, dan haji. Karena pada
amalan-amalan ini biasanya manusia tidak mendapatkan manfaat (dari
pelakunya), yang dengannya mereka mengagungkan orang tersebut dan
menjadikannya sebagai pemimpin, sebagaimana manfaat yang diperoleh dari
taklim dan infak.
Hasad asalnya hanyalah terjadi karena sesuatu yang diperoleh orang
lain mendatangkan kepemimpinan. Oleh karena itu, orang yang beramal
biasanya tidaklah dihasadi meskipun dia bernikmat-nikmat dengan makan,
minum, dan nikah lebih banyak dari yang lain. Ini sangat berbeda dengan
dua jenis orang tersebut (orang yang berlimu dan orang yang berinfak),
keduanya sering dihasadi. Oleh karena itu, di tengah-tengah orang yang
berilmu yang memiliki pengikut didapati sifat hasad yang tidak
didapatkan pada orang yang tidak seperti itu. Demikian pula orang yang
memiliki pengikut disebabkan infaknya.
Orang yang berilmu akan memberi manfaat kepada manusia dengan
santapan rohaninya, dan orang yang kaya akan memberikan manfaat kepada
manusia dengan kebutuhan jasmani. Dan semua manusia membutuhkan apa yang
menjadikan ruh (hati) dan badannya baik.
Inilah sahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata:
‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk
bersedekah, bersamaan dengan saat di mana aku punya harta. Aku
menyatakan: Hari ini aku akan saingi Abu Bakr jika aku bisa menyainginya
pada suatu hari.’ ‘Umar berkata: ‘Aku datang membawa setengah hartaku.’
‘Umar berkata lagi: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
kepadaku, ‘Apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’ Aku berkata, ‘Harta
yang semisalnya.’ Lalu datanglah Abu Bakr membawa semua yang
dimilikinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada
Abu Bakr, ‘Apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’ Dia menjawab, ‘Aku
sisakan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Maka aku (‘Umar) berkata: ‘Aku
tidak akan menyaingimu dalam sesuatu pun selama-lamanya.’
Apa yang dilakukan ‘Umar adalah bentuk berlomba-lomba (dalam
kebaikan) dan hasad yang diperbolehkan. Namun keadaan Abu Bakr lebih
utama darinya, karena ia terbebas dari menyaingi orang lain secara
mutlak. Ia tidak melihat kepada orang lain (ketika berinfak).
Demikian pula Nabi Musa ‘alaihissalam (seperti) dalam hadits Isra`
Mi’raj. Muncul dalam dirinya keinginan menyaingi dan iri kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ketika Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati Nabi Musa ‘alaihissalam, Nabi
Musa ‘alaihissalam menangis. Ia ditanya: ‘Apa yang menyebabkanmu
menangis?’ Musa berkata: ‘Aku menangis karena ada seorang pemuda –yakni
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang diutus sepeninggalku,
umatnya yang akan masuk surga lebih banyak daripada umatku’.” (Majmu’
Fatawa, Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, 10/113-117)
Faedah Bersihnya Hati dari Sifat Hasad
Sesungguhnya, di antara tuntunan keimanan adalah seseorang mencintai
kebaikan bagi saudaranya sebagaimana yang ia cintai untuk dirinya.
Keimanan yang benar akan mendorong pemiliknya untuk menghiasi diri
dengan akhlak yang terpuji dan mencegahnya dari terjerumus ke dalam
lembah kehinaan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
“Janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling hasad, dan
janganlah kalian saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara.” (HR. Muslim, Kitabul Birri wash Shilah, bab no. 7,
hadits no. 2559, dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Dahulu kami duduk-duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ اْلآنَ مِنْ هَذَا الْفَجِّ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Sekarang akan muncul kepada kalian dari jalan ini, seorang lelaki dari penghuni surga.”
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Lalu muncullah seorang lelaki dari kalangan Anshar, jenggotnya
meneteskan air karena wudhu. Orang tersebut mengikatkan kedua sandalnya
di tangan kirinya. Orang itu pun mengucapkan salam. Keesokan harinya,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan yang seperti itu. Muncul
lagi lelaki itu seperti pada kali yang pertama. Hari ketiga, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hal yang sama, dan muncul lagi
lelaki itu seperti keadaannya yang pertama.
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdiri, lelaki itu
diikuti oleh Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma.
Kemudian Abdullah berkata: “Sesungguhnya aku bertengkar dengan ayahku,
lalu aku bersumpah untuk tidak masuk kepadanya selama tiga (hari). Jika
engkau mempersilakan aku tinggal di rumahmu hingga lewat tiga hari, maka
akan aku lakukan. Lelaki itu berkata: “Ya.”
Anas berkata:
“Adalah Abdullah –yakni bin ‘Amr– bercerita bahwa ia menginap bersamanya
tiga malam.” Anas berkata lagi: “Ia tidak melihat lelaki itu shalat
malam sedikitpun. Hanya saja bila ia terbangun dari tidurnya di malam
hari dan menggerakkan (tubuhnya) di atas kasurnya, ia berdzikir kepada
Allah dan bertakbir, sampai ia bangun untuk shalat fajar. Hanya saja,
jika ia terbangun di malam hari, ia tidak berucap kecuali kebaikan.
Abdullah berkata: ‘Tatkala tiga malam itu lewat, dan aku hampir-hampir
menganggap remeh amalannya, aku berkata: ‘Wahai hamba Allah,
(sebenarnya) tidak ada ketegangan dan pemboikotan antara aku dengan
ayahku. Namun aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berucap (tiga kali): ‘Sekarang akan muncul kepada kalian salah seorang
penduduk surga.’ Lalu engkau muncul, tiga kali. Saya ingin tinggal
menginap di tempatmu sehingga aku tahu apa amalanmu. Namun aku tidak
melihat engkau banyak beramal. Apa gerangan yang menyebabkan kedudukanmu
sampai seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam?’ Dia menjawab: ‘Tidak ada, kecuali yang kamu lihat.’ Abdullah
berkata: ‘Aku pun meninggalkannya.’ Tatkala aku berpaling, ia
memanggilku. Ia berkata: ‘Aku tidak punya amalan (yang menonjol) kecuali
apa yang engkau lihat. Hanya saja aku tidak dapatkan dalam diriku
kedengkian terhadap seorang pun dari kaum muslimin. Dan aku tidak hasad
kepadanya atas kebaikan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan
kepadanya.’ Abdullah berkata: ‘Inilah hal yang menyampaikan engkau
kepada kedudukan itu. Dan inilah yang tidak dimampui (susah
dilaksanakan)’.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 12/8-9, no. 6181,
dan Ahmad dalam Al-Musnad, dan dishahihkan oleh Al-‘Iraqi rahimahullahu
dalam Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar, 2/862, no. 3168)
Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Kami mengatakan: ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
siapakah orang yang terbaik?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab (yang artinya): ‘Orang yang memiliki hati yang makhmum dan
lisan yang jujur.’ Kami berkata: ‘Kami telah tahu lisan yang jujur. Lalu
apakah hati yang makhmum?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: ‘Hati yang bertakwa lagi bersih, tiada dosa dan hasad
padanya…’.” (HR. Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab no. 6180, dan dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 948)
Sepuluh Sebab Terhindar dari Kejahatan Orang yang Hasad
1. Berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejahatan orang
yang hasad, dan membentengi diri dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menjamin penjagaan bagi orang yang bertakwa. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لاَ يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun
tidak mendatangkan kemudaratan kepadamu.” (Ali ‘Imran: 120)
3. Bersabar atas musuh, karena tidaklah seorang ditolong dari orang
yang hasad dan musuhnya, sebagaimana orang yang bersabar atasnya dan
bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Tawakal. Karena orang yang bertawakal kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, Ia akan mencukupinya. Tawakal termasuk faktor terkuat yang
dengannya seorang hamba menangkal apa yang tidak dia mampu berupa
gangguan makhluk dan kedzalimannya.
5. Mengosongkan hati dari sibuk dan memikirkan orang yang hasad
kepada dirinya. Setiap kali terbetik di benak, ia menepisnya dan
memikirkan sesuatu yang lebih bermanfaat. Ia melihat bahwa di antara
siksaan batin yang besar adalah sibuk memikirkan musuhnya.
6. Mengarahkan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ikhlas
kepada-Nya, serta menjadikan kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan keridhaan-Nya di tempat terbetiknya pikiran. Sehingga benaknya penuh
dengan segala yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dzikir
kepada-Nya. Orang yang seperti ini tidak akan ridha bila pikiran dan
hatinya dipenuhi dengan memikirkan orang yang hasad dan dzalim
kepadanya, serta memikirkan untuk membalasnya.
7. Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala dosa.
Seseorang dikuasai musuh karena dosanya. Dan tidaklah seorang hamba
disakiti kecuali karena dosa, baik yang ia ketahui maupun tidak. Dan
dosa yang tidak dia ketahui jauh lebih berlipat daripada yang ia
ketahui. Dosa yang ia lupakan lebih besar daripada yang ia ingat.
Sungguh tiada sesuatupun yang lebih bermanfaat bagi hamba bila dia
didzalimi dan disakiti lawannya daripada taubat yang tulus. Tanda
kebahagiaannya adalah mengalihkan pikirannya untuk melihat dirinya, dosa
dan cacatnya, sehingga ia pun sibuk untuk memperbaiki diri dan
bertaubat.
8. Bersedekah dan berbuat baik semampunya. Karena hal itu memiliki
pengaruh yang hebat dalam menangkal bencana, mata yang jahat, dan
kejelekan orang yang hasad. Orang yang berbuat baik dan bersedekah
kepada orang lain, hampir-hampir tidak pernah terkuasai oleh jahatnya
hipnotis, hasad, dan yang menyakitkan. Jika ia terkena suatu kejahatan,
ia akan diperlakukan lembut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan
memperoleh dukungan.
9. Yang paling berat adalah memadamkan api orang yang hasad dan
dzalim serta menyakitinya, dengan berbuat baik kepadanya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ
وَلِيٌّ حَمِيْمٌ. وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا
يُلَقَّاهَا إِلاَّ ذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ
“Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah
(kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman
yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidaklah dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidaklah dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.”
(Fushshilat: 34-35)
Perhatikanlah keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
dipukul oleh kaumnya sampai berdarah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengusap darah itu seraya mengucapkan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Orang yang memaafkan orang lain dan berbuat baik kepada orang yang
berbuat jelek kepadanya akan mendapatkan pertolongan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada seorang sahabat yang mengadu kepada beliau tentang karib
kerabatnya, di mana ia berbuat baik kepada mereka tetapi mereka berbuat
jelek terhadapnya:
لاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيْرٌ مَا دُمْتَ عَلىَ ذَلِكَ
“Senantiasa ada penolong dari Allah selagi kamu di atas keadaan yang seperti itu.”
Di samping itu pula, manusia akan memujinya dan bergabung bersamanya menghadapi musuhnya.
10. Memurnikan tauhid. Makhluk-makhluk ini ada yang menggerakkannya.
Tidaklah makhluk mendapatkan manfaat dan mudarat kecuali seijin
Penciptanya. Jika seseorang memurnikan tauhid maka hilanglah ketakutan
kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hatinya. Musuhnya menjadi
lebih ringan di matanya daripada ditakuti bersama Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Akan keluar dari hatinya kesibukan memerhatikan musuhnya, lalu
hatinya akan dipenuhi dengan cinta, takut, kembali, dan tawakal kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia memandang bahwa menggunakan pikirannya
untuk memikirkan musuhnya adalah bentuk lemahnya tauhid. Karena, jika ia
telah memurnikan tauhid, niscaya dalam hatinya ada kesibukan
tersendiri.
(Dinukil secara ringkas dari At-Tafsirul Qayyim lil Imam Ibnul Qayyim, hal. 585-594)
Wallahu a’lam.
Sumber : http://www.asysyariah.com
assalamualaikum wr.wb,saya ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada KI Roro atas bantuan AKI. kini impian saya selama ini sudah jadi kenyataan dan berkat bantuan AKI roro pula yang telah memberikan angka ritual kepada saya yaitu 4 angka dan alhamdulillah langsung tembus. sekali lagi makasih ya AKI karna waktu itu saya cuma bermodalkan uang 200 ribu dan akhirnya saya menang. Berkat angka GAIB hasil ritual AKI RORO saya sudah bisa buka usaha yaitu butic pakaian impor dan toko sembako di depan rumahku. kini kehidupan keluarga saya jauh lebih baik dari sebelumnya,bagi anda yg ingin seperti saya silahkan HUBUNGI AKI RORO di nomor hpnya: 082336642456 dan ramalan AKI memang memiliki ramalan GAIB” yang dijamin tembus.
BalasHapus